Hendropriyono (image: Gatra) |
intriknews.com Jakarta - Kisruh pro dan kontra masuknya pasal penghinaan presiden yang diusulkan pemerintah dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana membuat Mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono berkomentar akan hal ini.
"Siapa saja kalau dihina, hukum tidak tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero yang bilang begitu. Hukum harus bisa menyelesaikan itu," jelasnya di Mabes Polri, Jumat (7/8).
Siapa pun yang merasa dihina orang lain maka yang menghina tersebut harus dihukum. Menurut Mantan Menteri Transmigrasi dan Perambahan Hutan, Kabinet Pembangunan VII serta Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi itu pasal penghinaan presiden di negara mana pun memang sudah ada.
"Kalau menurut saya, menghina presiden salah dong. Masa dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina," ujarnya.
Lebih lanjut Hendro menambahkan, ada perbedaan mendasar apa yang disebut mengritik dengan penghinaan. Kalau ada kesahan dikritik bagi Hendropriyono hal itu lumrah, namun jika sebaliknya tentu saja bermasalah.
"Tapi kalau (ngomong) eh lu presiden bangsat lu, itu menghina," jelasnya seperti dilansir Gatra.
Sebagaimana diketahui, pemerintah mengajukan 786 pasal di RUU KUHP kepada DPR. Termasuk pasal yang mengatur hukuman untuk penghinaan presiden dan wakil presiden. Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Perihal tersebut dipertegas lagi pada pasal 264, yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV". Pada 2006 pasal ini sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.