intriknews.com Jakarta - Perhatian seluruh masyarakat Indonesia sekarang sedang tertuju pada kasus gratifikasi terkait dwelling time (waktu bongkar muat peti kemas) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Menurut Agung Kuswandono, Deputi SDA dan Jasa Kemenko Kemaritiman, terdapat empat hal permasalahan utama dwelling time. Pertama adalah masalah Kementerian/Lembaga (KL) mengenai perizinan. Terdapat sebanyak 18 KL dengan berbagai macam perizinan.
"Hampir 51 persen dari semua produk yang diimpor ini ada peraturan larangan pembatasannya. Jadi mesti harus melewati KL-KL," ujar Agung saat mengisi acara Indonesia Lawyers Club tvOne bertajuk "Membongkar Suap Bongkar Muat Pelabuhan", Selasa malam, 4 Agustus 2015.
Masalah kedua adalah mengenai pelaku usaha seperti importir, eksportir dan broker. Agung mengatakan, mereka juga harus diberi edukasi karena tidak menutup kemungkinan mereka juga ingin membuat dwelling time menjadi panjang.
"Jadi dwelling time panjang bukan hanya tidak menyenangkan. Ada sebagian yang senang karena Pelabuhan Tanjung Priok itu sampai saat ini masih digunakan menjadi tempat penimbunan barang. Padahal pelabuhan seharusnya adalah tempat bongkar muat barang. Itu bedanya," ujar Agung seperti dilansir Vivanews.
Sementara masalah yang ketiga adalah penyedia jasanya. Dalam hal ini, terdapat 13 pengusaha tempat penimbunan sementara di Tanjung Priok. Menurut Agung jumlah tersebut telah mulai dilebur sedikit-sedikit dari jumlah sebelumnya yaitu 40 pengusaha.
"Jadi kalau teman-teman bea cukai berhubungan dengan Tanjung Priok itu bukan satu pelabuhan tapi ada entitas 13 yang harus dilayani satu per satu. Pindah dari satu TPS ke TPS lain itu cost. Jadi kalau ingin menyelesaikan dwelling time ya ini satu tempat. Itu lah bedanya Tanjung Priok dengan pelabuhan-pelabuhan luar negeri," ujarnya menambahkan.
Belum lagi mengenai pengusaha bongkar muat yang berasal dari luar Tanjung Priok. Ini sering terjadi masalah. Agung mencontohkan, ketika kontainer harus diperiksa oleh bea cukai, orang-orang bongkar muat tersebut tidak ada atau tidak tercapai kesepakatan, maka kontainer yang satu ke tempat TPS yang lain.
"Kemudian perusahaan kontainer segala macem. Itu semua berasal dari entitas-entitas sendiri. Jadi Tanjung Priok ini entitas penyedia jasanya banyak sekali, yang tidak terorganisir menjadi satu. Itu salah satu kelemahan juga," ujarnya.
Masalah keempat, yang ia nilai tidak kalah pentingnya adalah dalam hal infastruktur. Ia mengatakan Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan yang tidak steril dan memiliki dua lini.
"Jadi lini satu itu yang mempunyai laut, di sebelahnya jalan umum, di sebelahnya lagi ada lini dua. Jadi ini merepotkan teman-teman dan pengawas bea cukai karantina, kalau mau pindah ke lini dua sebetulnya masuk jalan umum. Berarti harus ada mekanisme khusus, pakai segel segala macam, untuk pindah ke sana," ujarnya menerangkan.
Ia mengatakan, bahwa adanya jalan umum di pelabuhan saja sebenarnya sudah tidak tepat, karena pelabuhan seharusnya steril sehingga tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya.